"Do not judge the book by its cover"
"Jangan menilai buku dari sampulnya"
-Traditional Metaphore
In this era, to be able to read is somewhat an achievement on its own. Modern technology often replaced and took our chances to sit quietly, in front of a pile of paper, bound into books. Our lifestyles and children had somehow change our value system into productivity alone. At times when this metaphor was first stated, perhaps people did have a tendency to judge the contents of a book from the way it is titled and illustrated. Some probably avoid a certain book, simply because the colour of its cover is not his or her favourite. What happens today, is rather the opposite, but still pushed to the extreme. We now tend to enjoy a book's cover illustration, reviews from netizens, or perhaps a little bit from the introduction. Then we think we know all about the book. In this era, there simply is not enough time to try to get to know others through their written thoughts.
For readers who believe in a certain belief system, there are no more important things that to know whom or what we are worshipping. This is why we all have our so-called 'holy books'. Holy, not because we spray certain enhancements or ointments, but because it is separated and specialized to get to know an entity we never know of. May the joy of reading and seeing something physical be not forgotten for ourselves, as well as for our children.
Memang dalam jaman seperti ini, untuk dapat membaca buku seperti merupakan suatu prestasi pencapaian yang langka. Teknologi modern telah banyak mengganti dan meraup kesempatan manusia untuk boleh duduk diam, bersama setumpuk kertas yang dijilid menjadi sebuah buku. Gaya hidup yang menuntut produktivitas juga tidak membantu. Bahkan dunia hiburan semakin marak menuntut anak-anak kecil untuk bisa semakin bertalenta, berproduktivitas dalam usia sedini mungkin. Di jaman di mana peribahasa di atas dicetuskan, mungkin kecenderungan manusia adalah hanya melihat buku dari sampul, kemudian menganggap sepi judul atau ilustrasi yang dipakai di sampul, dan akhirnya tidak membaca sebuah buku karena sudah terlanjur menilai melalui sampul yang ada. Namun yang terjadi dalam jaman kita adalah sebaliknya. Kita hanya melihat sampul. Melihat siapa yang menulis, ulasan dari orang lain yang mungkin tertera di bagian belakang sampul, lalu kita merasa sudah mengetahui isi sebuah buku. Di era yang terlalu sarat informasi ini, tidak ada waktu lagi, untuk mau berelasi dengan seseorang, melalui buah pikiran yang telah dituliskan.
Bagi umat beragama, tidak ada yang lebih penting selain mengerti isi hati entitas yang kita sembah. Itulah sebabnya kita mempunyai yang kita sebut buku suci dalam setiap agama. Apakah ini pun sudah tergantikan? Ke manakah kasih kita yang mula-mula? Masih teringat dengan jelas, bagaimana saya mendapat sebuah surat yang ditulis tangan, oleh kekasih yang sekarang adalah istri saya. Masih dapat saya tersenyum, ketika mengingat bagaimana mata saya berbinar-binar melihat goresan tinta yang mengisi kertas yang putih. Bukan hanya kata-kata yang bermakna yang menjadi kebahagiaan, melainkan setiap goresan yang tidak pernah sama, yang tertoreh. Itu pun masih dapat menjadi penghiburan. Hampir semuanya ini tergantikan oleh media cetak dan proses komputerisasi yang nyaris tidak berkepribadian. Mungkin yang seharusnya kita nilai, bukan lagi buku atau manusia penulis buku, melainkan sistem penilaian kita, yang perlahan semakin bergeser. Sebab pada mulanya, tidak demikian desain tata cara hidup kita.