"It came to me. My own. My love. My precious ... Lost! My precious is lost!"
"Ia datang padaku. Milikku. Kesukaanku. Buah hatiku ... Hilang! Buah hatiku hilang!"
-Gollum
About a month ago (from the date of this article), a common incident happened to a friend: His wallet was stolen. This occurrence disturbed both him and me for quite some time, that it led me to question: What upset us so? Was is the monetary value? Or was it due to our sense of justice? Or was it simply because of the hassle of blocking all the credit cards, as well as reproducing all of the missing cards? Perhaps those did take part in upsetting us. I found a similarity with what had happened to Gollum. Despite the fact that Gollum himself admitted that the ring was the one who had come to him, he mourned for its lost very deeply. Whatever the reason, it has to do with our sense of ownership, which is rather intangible. Perhaps, it is similar to the experience of being sexually molested, being taken advantage of - which I believe is no longer exclusive to female, but also to male, nowadays. There is something 'stolen' although nothing tangible is ever taken. But we are somewhat insulted and harassed when our properties are enjoyed without our permissions. | |
So what will the solution be? Should we seek for justice? Or defend our honor to the last drop of blood? While we have the chance to ponder upon this issue, let us take a step back and ask different questions first. After all, the psychology of ownership itself, has not been conclusively discussed. Maybe we should list down once again, with full honesty, all the things that are precious to us right now. Then perhaps we can rethink what ought to be precious. Afterwards, perhaps we could open up a way to the solution that we are looking for regarding this matter. To the Christian readers, we know and are relieved, because the most important thing in our lives had been prepared, done and secured by someone, who is most just and able.
Sebuah insiden sederhana sempat menimpa seorang teman saya beberapa bulan yang lalu (ketika tulisan ini diketik). Kejadian sederhana - dompetnya dicuri. Kejadian ini terus mengganggu beberapa hari (atau bahkan minggu) lamanya, membuat kami sempat berpikir: Apa yang sesungguhnya disesalkan? Mengapa kita jadi begitu kesal terhadap kehilangan sedemikian? Apakah nilai uang? Atau standar keadilan? Ataukah karena repot karena harus melaporkan kehilangan dan juga memproses ulang semua kartu tanda pengenal yang turut hilang? Mungkin semuanya turut berperan.
Namun ada satu yang mirip dengan kutipan dari tokoh Gollum yang saya kutip di atas. Memang menarik ketika dia sendiri mengatakan bahwa cincin tersebut sebetulnya datang kepadanya. Dia mengakui bahwa bukan dia yang berusaha dan memperoleh, tetapi begitu sedih hatinya ketika cincin tersebut memutuskan untuk meninggalkan dia. Dengan pilunya dia menangisi kehilangan cincin, yang sudah dianggap sebagai buah hatinya. Apa pun alasannya, ketika ada suatu hak milik yang dirampas, sebetulnya sangat berkait dengan psikologi kepemilikan, yang sifatnya abstrak dan tidak kelihatan. Untuk memperjelas, perasaan ini mirip dengan suatu nuansa, di mana kita dilecehkan secara seksual - yang di jaman ini, saya yakin bukan hanya terjadi kepada kaum wanita, tapi juga kepada kaum pria. Ada suatu perasaan terhina, ketika apa yang kita miliki, dinikmati tanpa ijin dari diri kita yang memiliki.
Jadi apa solusinya? Keadilankah? Kehormatankah? Harga dirikah? Selagi masih ada waktu, mungkin ada baiknya kita mengambil langkah mundur dan menanyakan pertanyaan lain, ketimbang hanya mencari solusi atau kiat. Mungkin ada baiknya kita daftarkan ulang apa yang berharga bagi diri kita, dan kemudian mempertanyakan apa saja yang seharusnya menjadi berharga di dalam hati kita. Setelah itu, mungkin ada kepastian tentang bagaimana seharusnya kita menjaga buah hati kita, hingga kita tidak perlu terlalu cemas terhadap hal-hal yang sebetulnya tidak terlalu berharga juga. Bagi umat Kristen, kita sadar dan terhibur, bahwa yang terpenting dalam hidup kita, sudah disiapkan, dikerjakan, dan dijaga dalam tangan sebuah pribadi yang paling tangguh dan paling adil sehingga kita tidak perlu lagi mencari jawabannya di tengah-tengah dunia ini.
Namun ada satu yang mirip dengan kutipan dari tokoh Gollum yang saya kutip di atas. Memang menarik ketika dia sendiri mengatakan bahwa cincin tersebut sebetulnya datang kepadanya. Dia mengakui bahwa bukan dia yang berusaha dan memperoleh, tetapi begitu sedih hatinya ketika cincin tersebut memutuskan untuk meninggalkan dia. Dengan pilunya dia menangisi kehilangan cincin, yang sudah dianggap sebagai buah hatinya. Apa pun alasannya, ketika ada suatu hak milik yang dirampas, sebetulnya sangat berkait dengan psikologi kepemilikan, yang sifatnya abstrak dan tidak kelihatan. Untuk memperjelas, perasaan ini mirip dengan suatu nuansa, di mana kita dilecehkan secara seksual - yang di jaman ini, saya yakin bukan hanya terjadi kepada kaum wanita, tapi juga kepada kaum pria. Ada suatu perasaan terhina, ketika apa yang kita miliki, dinikmati tanpa ijin dari diri kita yang memiliki.
Jadi apa solusinya? Keadilankah? Kehormatankah? Harga dirikah? Selagi masih ada waktu, mungkin ada baiknya kita mengambil langkah mundur dan menanyakan pertanyaan lain, ketimbang hanya mencari solusi atau kiat. Mungkin ada baiknya kita daftarkan ulang apa yang berharga bagi diri kita, dan kemudian mempertanyakan apa saja yang seharusnya menjadi berharga di dalam hati kita. Setelah itu, mungkin ada kepastian tentang bagaimana seharusnya kita menjaga buah hati kita, hingga kita tidak perlu terlalu cemas terhadap hal-hal yang sebetulnya tidak terlalu berharga juga. Bagi umat Kristen, kita sadar dan terhibur, bahwa yang terpenting dalam hidup kita, sudah disiapkan, dikerjakan, dan dijaga dalam tangan sebuah pribadi yang paling tangguh dan paling adil sehingga kita tidak perlu lagi mencari jawabannya di tengah-tengah dunia ini.