"But the power of the ring could not be undone."
"Tetapi kuasa yang telah terwujud tidak dapat dibatalkan."
-Lady Galadriel
Ada beberapa kultur yang menyematkan cincin kepada raja atau penguasa di jari telunjuk, sebagai lambang status dan otoritas. Cincin sedemikian biasanya juga digunakan untuk menandatangani atau menyegel surat keputusan ataupun dekrit yang telah dibuat. Demikianlah gambaran cincin penguasa utama yang dikenakan oleh Sauron di jari telunjuknya. Adaptasi film yang disutradarai oleh Peter Jackson ini memang tidak memperlihatkan dengan gamblang, tetapi dalam karya tulisnya, Sauron ini dikalahkan oleh karena kaum Eldar sadar bahwa tiga cincin penguasa yang diberikan kepada mereka, sebetulnya sudah tertunduk pada kuasa cincin penguasa utama. Mereka tidak menggunakannya, sehingga mereka terbebas dari kehendak Sauron yang mengontrol bangsa-bangsa lain. Dari kejadian ini, ada satu hal yang menarik yang bisa pelajari, yaitu bahwa seseorang bisa berkuasa atas kita hanya bila kita yang terlebih dahulu memberikan kebebasan kepadanya untuk berotoritas atas kita. Memang ada unsur lain seperti kepercayaan, kontrak, dan sebagainya, tetapi ada juga aspek penyerahan dan pilihan pribadi di dalamnya.
Dalam dunia perpolitikan, kita tidak asing lagi dengan suatu kondisi di mana di masa-masa pemilihan umum, rakyat sangat optimis dan menaruh harapan kepada satu orang pribadi yang mereka akan pilih. Namun setelah terpilih, tidak memerlukan waktu yang lama untuk kemudian rakyat kecewa akan pilihan mereka sendiri. Saya memang belum sempat membaca banyak sejarah di seluruh dunia. Tetapi saya percaya siklus tadi tidak asing bagi negara apa pun. Yang menarik adalah fakta bahwa memilih sepertinya lebih mudah, dibandingkan membatalkan pilihan tersebut. Ini tidak berlaku hanya dalam konteks politik, tetapi juga dalam konteks pribadi, keluarga, organisasi kecil maupun besar.
Sama seperti ras manusia dalam cerita karangan profesor Tolkien, yang tergiur oleh kekuasaan atas hati nurani yang memang baik, kita semua juga bisa saja memberikan alasan demi alasan yang membenarkan kita setelah kita sadar bahwa kita salah memilih. Tetapi faktanya, yang membuat pilihan adalah kita. Ironisnya, kita terlalu jarang berani mengambil tanggung jawab atas keputusan yang kita ambil ketika keputusan tersebut bedampak kurang baik, sekecil apa pun skala keputusan tersebut. Kiranya kita boleh belajar untuk sekali lagi memperbaiki diri dan masyarakat, melalui kesadaran bahwa kita pun berbagian untuk memilih dan memutuskan sesuatu. Bukan menyalahkan orang lain, bukan mengutuk perubahan yang di luar dugaan kita, bukan menyesali ketidakmampuan untuk melihat masa depan, melainkan dengan jujur dan berani, bertanggung jawab atas keputusan yang telah kita buat. Sebab untuk diam dan tidak memutuskan apa-apa pun, tetaplah sebuah keputusan.
Dalam dunia perpolitikan, kita tidak asing lagi dengan suatu kondisi di mana di masa-masa pemilihan umum, rakyat sangat optimis dan menaruh harapan kepada satu orang pribadi yang mereka akan pilih. Namun setelah terpilih, tidak memerlukan waktu yang lama untuk kemudian rakyat kecewa akan pilihan mereka sendiri. Saya memang belum sempat membaca banyak sejarah di seluruh dunia. Tetapi saya percaya siklus tadi tidak asing bagi negara apa pun. Yang menarik adalah fakta bahwa memilih sepertinya lebih mudah, dibandingkan membatalkan pilihan tersebut. Ini tidak berlaku hanya dalam konteks politik, tetapi juga dalam konteks pribadi, keluarga, organisasi kecil maupun besar.
Sama seperti ras manusia dalam cerita karangan profesor Tolkien, yang tergiur oleh kekuasaan atas hati nurani yang memang baik, kita semua juga bisa saja memberikan alasan demi alasan yang membenarkan kita setelah kita sadar bahwa kita salah memilih. Tetapi faktanya, yang membuat pilihan adalah kita. Ironisnya, kita terlalu jarang berani mengambil tanggung jawab atas keputusan yang kita ambil ketika keputusan tersebut bedampak kurang baik, sekecil apa pun skala keputusan tersebut. Kiranya kita boleh belajar untuk sekali lagi memperbaiki diri dan masyarakat, melalui kesadaran bahwa kita pun berbagian untuk memilih dan memutuskan sesuatu. Bukan menyalahkan orang lain, bukan mengutuk perubahan yang di luar dugaan kita, bukan menyesali ketidakmampuan untuk melihat masa depan, melainkan dengan jujur dan berani, bertanggung jawab atas keputusan yang telah kita buat. Sebab untuk diam dan tidak memutuskan apa-apa pun, tetaplah sebuah keputusan.
Bagi pembaca yang tertarik dengan perjuangan seseorang bergama yang juga bergerak dalam perpolitikan, buku God & Government mungkin bisa memberikan suatu perspektif yang baru.